JAKARTA – Pernyataan Kasatpol PP DKI Jakarta, Satriadi Gunawan terkait bangunan konstruksi reklame illegal di di kawasan Jalan Outer Ringroad, Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat dinilai sejumlah kalangan tidak paham Perda dan Pergub sebagai dasar aturan serta dianggap ngawur.
Sartiadi menyebutkan, Satpol PP DKI sudah melakukan tindakan penyegelan terhadap reklame tersebut dan memberikan kesempatan kepada pengusaha pemilik reklame untuk mengurus izin.
“Kita hanya melakukan pengawasan, dan sudah disegel. Dan mereka kita berikan kesempatan untuk mengurus izinnya. Jika izin sudah dikeluarkan oleh DCKTRP dan PTSP ya silahkan dilanjutkan,” ucap Satriadi saat mendampingi PJ Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi dalam kegiatan monitoring arus mudik Natal dan Tahun Baru di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, pada Sabtu (21/12/2024) kemarin.
Kasatpol juga menyampaikan, pihaknya hanya dapat melakukan pengawasan jika obyek bangunan konstruksi reklame sudah ada pembangunan. “Kita bisa melakukan pengawasan jika sudah ada pembangunan. Bagaimana kita bisa tahu bangunan itu melanggar atau tidak jika bangunannya belum berdiri,” terangnya.
Menanggapi pernyataan Kasatpol PP DKI Jakarta, Ketua DPD Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerhati Penegakan Hukum dan Keadilan (LSM PPHK) Provinsi DKI Jakarta, Awy Eziary, S.E., M.M., menyebut Satriadi Gunawan tidak memahami Perda dan Pergub DKI Jakarta.
“Kasatpol PP DKI Jakarta ini baru menjabat, seharusnya dia lebih banyak membaca dan memahami aturan-aturan di wilayah yang dia pimpin. Terutama Pergub dan Perda di Jakarta ini. Jangan asal mengeluarkan statmen,” ujar Awy yang juga akademisi ini pada Minggu (22/12).
Awy menjelaskan, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 100 Tahun 2021 sudah sangat jelas. Mekanisme dan aturan pemasangan reklame di DKI Jakarta diatur dalam tiga zona kawasan: ketat, sedang, dan khusus. Setiap zona memiliki ketentuan yang jelas mengenai jenis dan lokasi pemasangan reklame.
Dalam hal ini, reklame tiang tunggal yang terpasang di kawasan Jalan Outer Ringroad, Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat tersebut tidak memenuhi ketentuan mengenai penempatan reklame, yang seharusnya hanya boleh dipasang di dinding bangunan atau di atas bangunan dalam bentuk elektronik (digital), billboard, neon box, atau neon sign.
Lebih lanjut, Pergub No. 100 Tahun 2021 juga mengatur bahwa reklame yang dipasang di halaman bangunan hanya boleh menampilkan nama gedung, identitas usaha, profesi, dan logo yang berkaitan dengan aktivitas di dalam bangunan tersebut. Pemasangan reklame di luar ketentuan ini jelas merupakan pelanggaran hukum.
“Jadi apa dasarnya pemerintah kota maupun pemerintah provinsi masih akan menerbitkan izin dengan jenis reklame itu. Belajarlah Perda dan Pergub. Karena Satpol PP tugas dan fungsinya untuk menegakkan aturan yang ada di Perda dan Pergub. Kami rasa pengangkatan Kasatpol PP DKI Jakarta ini harus dievaluasi ulang,” tegas Awy.
Pada pemberitaan di media sebelumnya, Awy juga sudah menjelasan, kegiatan reklame di DKI Jakarta sudah diatur dalam Perda No. 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame yang mengatur persyaratan teknis dan administratif reklame.
Selanjutnya juga diatur dalam Pergub No. 148 Tahun 2017: Menegaskan larangan reklame di lokasi tertentu. Kemudian ada Keputusan Gubernur No. 125 Tahun 2021, yang menetapkan lokasi-lokasi strategis yang diperbolehkan untuk reklame dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 100 Tahun 2021 tentang mekanisme dan aturan pemasangan reklame di DKI Jakarta.
Namun, menurut Awy, pelaksanaan aturan ini tampaknya belum maksimal dijalankan oleh aparatur Pemprov DKI Jakarta. Pembiaran tiang reklame yang berdiri kokoh usai penyegelan hanya akan memberikan celah bagi pelanggaran lebih lanjut.
Satpol PP perlu meningkatkan integritas dan komitmen dalam menegakkan aturan. Tidak cukup hanya menyegel dan mencopot sebagian reklame, melainkan harus ada langkah tegas hingga konstruksi bangunan reklame ilegal benar-benar dihancurkan. Langkah ini diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak reklame.
Awy mengkritik maraknya reklame ilegal ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Jakarta. Menurut Awy, kelalaian dalam pengawasan membuka celah bagi oknum-oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk terlibat dalam praktik korupsi, dengan menerima imbalan dari pelaku reklame ilegal.
“Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran reklame ini menjadi lahan subur bagi korupsi. Tidak hanya oknum pengusaha yang melanggar, tetapi juga ada oknum pejabat yang menerima keuntungan dari praktik-praktik ilegal ini,” tegas Awy.
Praktik korupsi ini semakin mengkhawatirkan karena, selain merugikan pendapatan asli daerah (PAD), juga merusak citra pemerintah yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik. Ketidakpedulian terhadap peraturan yang ada menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan bagi warga yang mematuhi aturan.
Awy berjanji akan terus mengkritisi dan membawa persoalan ini ke DPRD DKI Jakarta hingga tindakan tegas diambil. “Kami tidak akan berhenti hanya dengan kritikan. Pengaduan ini akan terus kami lanjutkan ke pihak DPRD hingga persoalan reklame ilegal ini mendapat perhatian serius dan diselesaikan dengan tuntas,” tukas Awy. (*)
Red/amr
Discussion about this post