Oleh : Berry Salam (Pegiat Masyarakat Berkeadilan)
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pemimpin, Pejabat, dan Pegawai BPIP digaji selangit oleh negara. Dari karyawan hingga petingginya digaji mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. Besaran gaji ini mungkin debatebel, mengingat Indonesia masih berhutang untuk ini dan itu, tapi di sisi lain menghamburkan uang untuk sebuah institusi yang sebenarnya bisa dijalankan oleh kementerian.
Akan tetapi, dengan gaji selangit itu diduga BPIP tidak menjalankan tugasnya dengan sebenar-benarnya. Alih-alih membumikan Pancasila di tengah keberagaman masyarakat Indonesia, BPIP justru ditenggarai menghancurkan keberagaman dengan idiom-idiom sekularitas. Kepala BPIP yang baru seumur jagung dilantik Joko Widodo (Jokowi), malah menyebut agama yang menjadi bagian dari sila pertama Pancasila sebagai musuh utama Pancasila.
Ini merupakan kekeliruan berpikir yang berbahaya. Secara logika, Pancasila itu lahir di Indonesia karena sebelumnya agama-agama telah hadir di nusantara terlebih dahulu dan agama menjadi salah satu kekuatan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Selanjutnya, Pancasila hadir memberi ruang kesepakatan yang terbuka, adil dan taat aturan main.
Atau jangan-jangan, tugas BPIP sebenarnya adalah hanya sekedar alat untuk mengalihkan isu. Seolah-olah diceritakan bahwa Indonesia darurat nilai-nilai keberagaman. Dengan demikian, BPIP sangat diperlukan untuk kembali merajut cita-cita pendiri bangsa.
Asumsi ini bisa jadi benar dan juga bisa jadi salah. Tapi jika kita sedikit meluangkan waktu untuk melihat beberapa runtutan keganjilan belakangan ini, bisa jadi asumsi BPIP sedang mengalihkan isu benar adanya. Seperti yang kita ketahui bersama, belakangan isu Jiwasraya dan BUMN yang diduga jadi bancakan untuk kepentingan kelompok tertentu mencuat kepermukaan. Selain itu, dugaan keterlibatan salah seorang elite partai penguasa dalam kasus suap eks komisioner KPU juga membuat penguasa tersudut.
Oleh karena itu, muncullah polemik-polemik yang diduga digunakan untuk membenamkan dua isu besar tersebut. Pertama muncul kabar tentang ‘dibuangnya’ penyidik yang mengusut kasus Harun Masiku (HM) dari KPK. Kompol Rosa dikabarkan dikembalikan kekesatuannya, Polri. Hal ini membuat isu beralih dari keterkaitan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan kasus HM menjadi isu pelemahan KPK oleh Firli Bahuri. Pimpinan KPK itu ‘siap’ menjadi bamper dan bulan-bulanan banyak pihak.
Seolah tidak punya ‘etika’, beberapa kali pimpinan KPK jalan-jalan berkunjung ke DPR. Hal ini juga menuai kritik banyak pihak. Lagi-lagi Jiwasraya dan kasus HM melenggang terhimpit dengan pemberitaan pimpinan KPK yang hobi ‘cawe-cawe’.
Selanjutnya, ada juga pernyataan Menteri Agama terkait pemulangan eks ISIS. Padahal jelas pernyataan Jokowi sebelumnya, terkait tidak ada visi menteri, yang ada hanyalah visi presiden. Pertanyaannya, apakah menteri berani melangkahi presiden dan membuat wacana yang seyogyanya belum dibahas dalam Ratas? Atau, menteri itu memang ditugaskan untuk membuat polemik dan diselesaikan dan Jokowi muncul sebagai ‘hero’?
Kalau benar polemik Kepala BPIP hanya sebatas pengalihan isu Jiwasraya dan kasus suap eks PDIP yang melibatkan Sekjend PDIP, sungguh merugilah bangsa Indonesia menggaji sebesar itu untuk sekedar menjadi ‘antek-antek’ penguasa. Padahal jika gaji seluruh perangkat BPIP itu dialihkan untuk anggaran kesejahteraan masyarakat, tentu hasilnya akan lebih baik.
Oleh karena itu, Jokowi seharusnya berpikir ulang terkait urgensi dibentuknya BPIP. Selain itu, positioning beberapa jajarannya dinilai tidak tepat dan diduga berpihak. Seperti Megawati yang merupakan ketua partai penguasa yang mempunyai irisan dengan Jokowi. Selain itu ada juga Mahfud MD yang kini telah jadi Menko yang juga tentunya mempunyai irisan kedekatan dengan presiden, dan begitu juga dengan sejumlah nama lainnya.
Discussion about this post