PADANG — Salah satu program unggulan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar, Epyardi Asda-Ekos Albar, ialah menghapuskan bahwa uang komite dan uang sekolah dari SD hingga SMA. Juru bicara pasangan tersebut, Lidya Adriadedi, mengatakan uang komite dan uang sekolah jadi masalah karena memberatkan bagi orang tua siswa.
Lidya menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, uang komite harusnya digalang dari pihak ketiga, seperti perusahaan atau pabrik yang berada di lingkungan sekitar sekolah. Karena tak semua sekolah berada di lingkungan perusahaan atau pabrik, sekolah meminta sumbangan untuk uang komite dari orang tua siswa.
“Padahal, kejaksaan sudah mewanti-wanti agar sekolah tak memungut uang komite dari orang tua siswa,” ucapnya di Padang, Senin (30/9/2024).
Lidya mengatakan bahwa pemerintah daerah seharusnya mendukung sekolah dengan memperbesar biaya operasional sekolah karena dana biaya operasional sekolah (BOS) untuk membiayai fasilitas dan urusan sekolah tidak cukup. Caranya ialah mencari dana ke pusat, seperti dana alokasi khusus, dana dari kementerian. Untuk mendapatkan dana tersebut diperlukan kepiawaian kepala daerah untuk melobi pihak-pihak yang mengantongi dana itu.
“Pak Epyardi tidak ingin sekolah meminta dana dari orang tua siswa walau sekolah itu tidak berada di lingkungan perusahaan atau pabrik. Pak Epyardi ingin membantu sekolah mencarikan dana untuk operasional ke pusat agar sekolah tidak lagi meminta dana dari orang tua siswa,” tuturnya.
Selain itu, kata Lidya, Epyardi-Ekos akan menghapus uang sekolah pada jenjang SLTA. Uang sekolah uang dimaksud ialah uang SPP yang dibayar tiap semester. Ia menyebut bahwa Epyardi-Ekos menggratiskan uang sekolah karena ingin mewujudkan program wajib belajar 12 tahun.
“Kalau programnya wajib, konsekuensinya biayanya ditanggung oleh pemerintah, bukan oleh masyarakat. Jadi, pemerintah yang harus memfasilitasi kebutuhan sekolah agar sekolah gratis bagi semuanya,” ujarnya.
Menurut Epyardi-Ekos, kata Lidya, jika pemerintah daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah, kepala daerahnya gagal menjalankan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sehingga tak mampu menjalankan wajib belajar 12 tahun.
Discussion about this post