JAKARTA – Tiga akademisi mengkritik upaya pemberantasan korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Atas situasi ini, para akademisi dari berbagai lembaga itu lantas mengusung Gerakan Rakyat Semesta Melawan Korupsi.
“Sudah saatnya kita menyerukan perlunya gerakan rakyat luar biasa untuk memerangi korupsi,” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) Wijayanto dalam siaran pers di Jakarta pada Senin, 20 Januari 2020.
Dalam gerakan tersebut, menurut Wijayanto, elemen-elemen masyarakat sipil seperti akademisi, aktivis, agamawan, budayawan, jurnalis, dan rakyat kebanyakan yang terfragmentasi harus bersatu padu melawan korupsi.
Gerakan Rakyat Semesta Melawan Korupsi muncul setelah Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 hasil revisi resmi berlaku. Para akademisi pun menilai pelemahan KPK terbukti dengan munculnya revisi undang-undang tersebut.
Salah satunya klausul di dalamnya mengenai izin Dewan Pengawas KPK yang akhirnya dinilai menghambat penggeledahan Kantor DPP PDIP dalam kasus dugaan suap yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada awal Januari 2020.
Adapun peneliti senior LP3ES Malik Ruslan mengatakan persoalan serius tak hanya terjadi pada gagalnya penggeledahan Kantor PDIP.
Ia juga menyinggung dugaan pencopotan penyidik KPK yang menangani kasus tersebut. “Dapat dipastikan, hal itu terjadi karena revisi Undang-Undang KPK,” ujar Malik.
Dosen FEB Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo menuturkan apa yang menjadi kekhawatiran para akademisi ternyata tidak memerlukan waktu lama untuk terjadi. Sebelum UU KPK hasil revisi terbit, ratusan akademisi menyatakan penolakannya.
Menurut Rimawan, hasil regulatory impact analysis (RIA) yang dilakukan terhadap UU KPK hasil revisi juga menunjukkan sejumlah kemunduran terhadap KPK dan gerakan anti korupsi. ,” ujar Koordinator Aliansi Akademisi Antikorupsi Indonesia tersebut. (Tempo.co)
Discussion about this post