Bukittinggi — Berbagai potensi yang dimiliki telah menasbihkan Bukittinggi sebagai “Kota Wisata” sejak 40 tahun silam. Keindahan alam yang sejuk didukung berbagai hasil kerajinan dan kuliner, tanpa didukung dengan budaya, ibarat sayur kurang garam.
Penilaian ini disampaikan oleh mantan pejabat, praktisi sekaligus pemerhati pariwisata dan budaya, Drs. Mulakhyar Dt. Sinaro tentang kondisi kepariwisataan kota Bukittinggi, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut mantan Kabid Kebudayaan, Dinas Dikbud Kota Bukittinggi ini, pariwisata kota Bukittinggi dalam beberapa tahun terakhir terasa hambar dan monoton.
“Kepariwisataan di mana pun, saling berkaitan erat dengan kebudayaan yang juga erat hubungan dengan ivent-ivent. Ivent inilah dalam beberapa tahun terakhir sangat kurang sekali digelar di kota Bukittinggi,” tegas Wakil Ketua IPSI cabang Bukittinggi.
Pagelaran atau ivent budaya, tambah Dt. Sinaro, bagai garam atau bumbu yang menyedapkan pariwisata. Karena budaya juga membuat pariwisata lebih “fresh” yang enak untuk dikunjungi.
Apalagi, tutur Mulakhyar, Bukittinggi telah memasukan budaya sebagai kurikulum muatan lokal pendidikan di kota Bukittinggi. Budaya lebih berkembang bila diiringi dengan ivent.
“Selain lebih menghidupkan kebudayaan dan pelakunya, ivent yang dilaksanakan juga dapat berkontribusi terhadap dunia usaha, khususnya pelaku UMKM, karena memberi ruang dan kesempatan memperoleh penghasilan,” tukuk Mulakhyar.
Untuk mensinkronkan antara pariwisata dan budaya, nilai Dt. Sinaro, dengan lebih memperhatikan secara serius sektor kebudayaan agar dapat saling mendukung kepariwisataan.
Salah satu langkah yang perlu dipikirkan oleh Pemko Bukittinggi, menurutnya, melakukan restrukturisasi kelembagaan kebudayaan. Kalau tidak dengan menggabungkan ke Dinas Pariwisata, juga bisa membentuk Dinas Kebudayaan sendiri seperti di tingkat Provinsi Sumbar saat ini.
Sebagaimana pernah dilakukannya saat menjabat di beberapa jabatan, khususnya sebagai Kabid Kebudayaan, Dinas Dikbud Bukittinggi, kalau dikelola dengan serius, ternyata untuk menggelar sebuah ivent kebudayaan tidak selalu tergantung pada ketersediaan anggaran.
“Yang penting ada kelembagaan pemerintahan yang bisa lebih ‘concern’ dan punya ‘power’ mengelola kebudayaan agar bisa menciptakan ‘kelezatan’ kepariwisataan di daerah bersangkutan,” tutup Mulakhyar Dt. Sinaro. (Pon)
Discussion about this post