Publik Sumbar terkejut dengan keputusan MK terhadap gugatan yang diajukan oleh Irman Gusman untuk melakukan PSU atau Pemungutan Suara Ulang untuk Dewan Perwakilan Daerah di seluruh kabupaten/kota di Sumbar.
Keputusan MK ini serta merta membatalkan ketetapan KPU terhadap 4 besar pemenang pemilihan DPD RI yaitu Cerint Irellona Tasya, Emma Yohana, Jelita Donal dan Muslim M Yatim. Dalam keputusannya MK memerintahkan untuk melakukan PSU di seluruh kabupaten/kota di Sumbar dalam waktu 45 hari sejak keputusan keluar.
Bagaimanapun keputusan sengketa pemilu yang diputuskan oleh MK berdasarkan konstitusi negara adalah final dan mengikat, namun ini akan menimbulkan konsekuensi dan dilema bagi publik maupun peserta yang sudah ditetapkan oleh KPUD Sumbar sebagai pemenang 4 besar.
Apa problematika dan dilema yang akan muncul akibat keputusan ini? Menurut penulis ada beberapa hal antara lain :
Pertama, biaya pemilihan ulang jelas akan menyedot anggaran baru yang harus digelontorkan oleh pemerintah yang jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah. Jelas ini menimbulkan efek defisiensi anggaran negara. Tersedotnya anggaran negara khusus untuk pemilihan ulang ini, termasuk tambahan anggaran yang harus dikeluarkan kembali oleh calon DPD RI dan tim suksesnya agar tidak gagal atau kalah pada PSU ini.
Terutama pihak yang ditetapkan sebagai pemenang kemarin. Mau tak mau jika ingin tetap terpilih harus melakukan konsolidasi dan pergerakan politik jika tidak ingin kalah. Walaupun tidak boleh lagi untuk kampanye terbuka
Kedua, tingkat partisipasi pemilih akan jauh menurun. Kenapa? karena hanya diadakan khusus untuk Pemilihan DPD saja. Fakta-fakta PSU ini seperti di pileg yang sebelumnya menunjukkan menurunnya partisipasi pemilih. Masyarakat merasa jenuh atau malas untuk melakukan pemilihan ulang ini.
Ketika pemilihan serentak 14 Februari 2024 kemarin partisipasi pemilih lumayan tinggi karena ada pileg di semua jenjang dan pilpres. Sekarang pemilihan hanya khusus untuk DPD saja, maka diprediksikan partisipasi pemilih akan turun, bahkan bisa di bawah 50 persen. Tentu KPU harus bekerja keras untuk menyakinkan pemilih agar mau menggunakan hak pilihnya.
Ketiga, menimbulkan efek merugikan secara moral, mental maupun finansial bagi calon calon anggota DPD yang sudah ditetapkan kemarin sebagai pemenang. Mereka tentu harus melakukan gerakan ulang lagi, konsolidasi lagi dengan seluruh tim dan relawannya. Ketika semua caleg DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota yang terpilih sudah bisa istirahat dengan tenang dan menunggu pelantikan, sementara mereka harus mengulang lagi dari “dasar” dengan berbagai kemungkinan tidak terpilih lagi.
Keempat, rawannya terjadi politik uang menjelang pemilihan ulang. Karena tidak diperbolehkan lagi kampanye secara terbuka dan waktu yang singkat memancing kandidat-kandidat yang ada untuk melakukan politik uang agar terpilih oleh masyarakat. Karena cara yang paling gampang dalam rentang waktu yang singkat dan tidak boleh kampanye secara terbuka adalah dengan silent operation atau money politic, atau serangan fajar seperti istilah yang berkembang di masyarakat. Terutama bagi kandidat yang masih punya banyak “amunisi”. Maka untuk mencegah ini semua elemen masyarakat harus melakukan pengawasan agar tidak terjadi kecurangan dalam PSU ini.
Kelima, rawannya terjadi ketidakpuasan dan saling menuntut, terutama pada KPU sebagai penyelenggara pemilu oleh kandidat yang kemarin terpilih, dan nanti ketika PSU tidak terpilih misalnya. Karena merasa dirugikan. Mereka beralasan kenapa tidak dari awal KPU mengakomodir pencalonan Irman Gusman misalnya, sehingga tidak perlu ada pemilihan sampai diulang begini.
Tentu akan ada anggapan ini adalah akibat dari kelalaian/kesalahan KPU sebagai penyelenggara pemilu sehingga mesti ada keputusan pemilihan ulang oleh MK. Apa KPU tidak melakukan kajian yang mendalam secara hukumnya? Lalu menuntut secara moril maupun materil misalnya. Maka potensi-potensi seperti ini mungkin saja terjadi jika hasil PSU nanti ada kandidat yang merasa dirugikan misalnya.
Oleh karena itu menurut penulis karena PSU ini mau tak mau ataupun suka tidak suka harus dilakukan karena keputusannya sudah final dan mengikat. Maka yang harus disiapkan adalah antisipasi potensi kerawanan baik secara politis maupun yuridis seperti di atas. Seperti potensi politik uang dan kecurangan sistematis lainnya.
Para kandidat mau tak mau harus bekerja lagi sesuai ketentuan yang diperbolehkan untuk mengikuti PSU ini. Mereka belum bisa tenang dan berdiam diri jika ingin terpilih. Apalagi yang kemarin memiliki strategi tandem dengan caleg-caleg namun sekarang para caleg itu tidak terlibat lagi. Tentu potensi suaranya akan merosot tajam. Kemudian masyarakat yang malas memilih, walaupun berdasarkan pemilu 14 Februari kemarin suatu daerah itu mereka memperoleh suara signifikan, bisa jadi dalam PSU nanti suara mereka akan turun signifikan pula karena banyaknya nanti pemilih yang tidak berpartisipasi terutama di daerah daerah pinggiran. Terutama yang tidak punya basis politik yang kuat, sumberdaya yang sedikit dan mesin politik/relawan yang tangguh tentu rawan untuk menurun suaranya.
Apalagi selama ini dengan kewenangan DPD-RI yg terbatas tidak seperti DPR RI yang punya dana pokir dan kewenangan-kewenangan powerfull lainnya dibandingkan DPD-RI tentu berpotensi membuat masyarakat tidak begitu terikat dan tertarik untuk memilih kembali. Semoga PSU besok berjalan dengan lancar, masyarakat, peserta pemilu dan KPU terutama KPUD Sumbar dapat menjalankan PSU ini dengan baik. Wallahu alam bishsawab. **
Discussion about this post