Pemilu 2024 sudah usai. Hasilnya sudah dapat kita saksikan. Ada fakta yang menarik untuk kita analisa dan kaji yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah berusia 51 tahun lebih dan mengikuti Pemilu sejak tahun 1977 ternyata tidak lolos Parlementary Threshold 4%. Pertama kali dalam sejarah Pemilu yang diikuti PPP, kenyataan pahit kali ini tidak lolos ke DPR RI. PPP hanya meraih 3.87 % suara.
Padahal PPP adalah partai senior. Partai Islam satu satunya sejak zaman Orde Baru. PPP adalah partai gabungan dari empat partai berbasis Islam yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Di mana Soeharto ingin menyederhanakan jumlah partai yang ketika tahun Pemilu tahun 1971 berjumlah 10 partai. Akhirnya 4 partai di atas sepakat untuk melebur dan membentuk partai baru yang bernama PPP.
Pada Pemilu tahun 1977 yang pertama kali diikuti oleh PPP, partai ini memperoleh suara 27 % dan berada di urutan kedua. Di bawah Golkar yang memperoleh 62%. PPP waktu itu bersikap kritis terhadap rezim soeharto yang dianggap diskriminatif pada ummat IsIam. Pada pemilu tahun 1982, Suara PPP mencapai 28% tapi kemudian di Pileg tahun 1987 mengalami penurunan menjadi 15,96%, salah satu sebabnya karena NU yang waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid pada tahun 1984 menyatakan bahwa NU keluar dari PPP.
Pada pemilu tahun 1987 itu Rezim Soeharto juga memaksa PPP untuk mengubah ideologi IsIamnya menjadi ideologi Pancasila sehingga lambangnya dari lambang Ka’bah dirubah juga ke lambang bintang segi lima.
Kemudian pada Pemilu tahun 1992 PPP mengalami kenaikan menjadi 17 % sebagai runner-up di bawah Golkar yang mengalami penurunan suara dari 73.11% tahun 1987 menjadi 68.1%. Sedangkan PDI tahun 1992 itu memperoleh suara 14.89% naik juga dari tahun 1987 sebesar 10.93 %.
Selanjutnya pada Pileg tahun 1997, PPP juga mengalami kenaikan suara sebesar 22.43% dan menjadi runner-up di bawah Golkar yang suaranya 74.51%, justru PDI mengalami penurunan suara sebesar 3.06%. Setelah terjadi Reformasi dan diadakan pemilihan ulang PDI-P yg merupakan reinkarnasi dari PDI yg secara mengejutkan melejit suaranya menjadi pemenang pemilu dengan perolehan 33.74%, disusul Golkar 22.44% dan PPP 10.71%.
Setelahnya pada Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024 suara PPP terus mengalami penurunan secara signifikan. Kecuali 2014 yang sempat naik sedikit. 2004 memperoleh 8.15%, 2009 turun menjadi 5.32%, 2014 naik sedikit menjadi 6.53%, 2019 turun menjadi 4.52% dan 2024 ini turun lagi menjadi 3.87%, dan tidak ada lagi wakil PPP di parlemen sejak tahun 1977. Kenapa hal ini terjadi? Menurut penulis ada beberapa sebab:
Pertama, keluarnya unsur Ormas Islam terutama NU yang membentuk partai PKB yang didirikan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur, yang menjadi salah satu basis utama PPP. Kaum nahdliyin kemudian lebih banyak yang afiliasi dan pilihan politiknya pindah ke PKB karena Gusdur saat PKB didirikan adalah Ketua Umum NU dan keturunan langsung dari KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU.
Suara PKB kita lihat dari waktu ke waktu terus bertahan terutama di basis NU Jawa Timur, bahkan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sebaliknya suara PPP semakin lama semakin menurun.
Kedua, PPP tidak serius dan tidak mampu melahirkan kader-kader baru dan melakukan regenerasi di internalnya. Sayap-sayap politik PPP tidak berjalan maksimal untuk melahirkan kader-kader baru yang siap bekerja untuk membesarkan partainya. Berbeda dengan partai Islam yang baru lahir di era reformasi seperti PKS yang mampu terus melakukan regenerasi dan kaderisasi melalui sayap sayap-sayap organisasi yang dimilikinya.
Demikian juga dengan PKB yang terus ada regenerasi dan kader-kadernya melalui organisasi NU dan sayap-sayapnya, baik melalui pesantren berbasiskan NU dan lain-lainnya. PKB tidak akan kekuarangan kader untuk melanjutkan kepemimpinan dan regenerasinya. Memang banyak elit PPP yang juga berasal dari NU namun tidak sekuat afiliasi NU ke PKB.
Ketiga, sesuai namanya harusnya PPP itu identik dengan persatuan, namun PPP terus dilanda konflik internal berkepanjangan. Padahal di masa Awal Reformasi, di bawah kepemimpinan Hamzah Haz PPP mengalami kejayaannya dan menjadi Wapres RI di kabinet Megawati. Pada era kepemimpinan Hamzah Haz sudah mulai muncul bibit pertikaian dengan keluarnya KH Zainuddin MZ dari PPP dan membentuk PPP Reformasi yang kemudian menjadi PBR.
Kemudian di era Suryadarma Ali, pada Pilpres tahun 2014, Suryadarma Ali yang waktu itu mendukung Prabowo Subianto dan hadir dalam kampanye Gerindra dituding menjadi penyebab tidak tercapainya target suara PPP sebesar 12%. Sehingga 26 dan 34 DPW meminta laporan pertanggung jawaban Suryadarma Ali. Kemudian langkah yang diambil SDA dengan memecat Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan 5 Ketua DPW. Konflik kepemimpinan itu terus berlanjut di Era kepemimpinan Romahurmuzy yang mengakibatkan lemahnya dan tidak solidnya kondisi internal mereka dalam menghadapi Pileg dan menata partainya sampai ke level bawah.
Keempat, banyaknya elit politik PPP yang ditangkap oleh KPK karena kasus hukum. Seperti Suryadarma Ali, Bachtiar Chamsyah, Romahurmuzy yang semuanya saat menjadi pejabat negara yaitu mentri, harus berurusan dengan KPK. Jelas ini memiliki pengaruh terhadap citra negatif pada PPP sebagai Partai IsIam.
Kelima, kaburnya ideologi PPP sebagai Partai Islam kanan dimata para pemilih, sehingga Ummat Islam yang lebih puritan tidak menyalurkan aspirasi dan afiliasi politiknya pada PPP tapi sudah beralih misalnya ke PKS, karna dianggap PPP tidak lagi konsisten dalam memperjuangkan aspirasi dan melakukan pembelaan terhadap Ummat Islam dan isu-isu keislaman. Sedangkan PKS dinilai lebih konsisten dalam memperjuangkan aspirasi umat islam seperti isu Palestina dan lainnya.
Keenam, terlambatnya PPP melakukan perubahan dan transformasi, untuk meraup dan mengambil simpati segmen pemilih millenial dan Gen Z yang mayoritas hari ini. Kesan atau branding yang muncul ketika disebutkan PPP adalah partai lama yang konservatif dsn isinya adalah orang-orang tua dan pemilih pemilih yang lanjut usia.
Walaupun PPP kemarin sudah menggandeng Sandiaga Uno sebagai Ketua Bappilu dan merekrut beberapa anak muda, tetapi semua itu cukup terlambat dan belum cukup untuk melakukan rebranding PPP menjadi partai yang modern dan disukai oleh pemilih millenial dan Gen Z ini.
Berdasarkan analisa di atas kita melihat, bahwa sebuah organisasi yang sudah mapan dan berumur puluhan bahkan ratusan tahun sekalipun dapat mundur bahkan bubar, ketika tidak melakukan regenerasi dan perubahan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Terlambat saja melakukan perubahan di saat yang lain sudah berubah ini juga berakibat fatal. Seperti contohnya nama-nama besar di bidang industri telekomunikasi seperti Nokia, Blackberry, Motorolla, Sony Ericsson yang hari ini sudah bangkrut atau jauh tertinggal dari merek merek lainnya.
Padahal mereka seperti Nokia dan BlackBerry pernah menjadi raja dan leader di masa jayanya. Tetapi karena terlambat merespon perubahan mereka akhirnya kalah dan punah dari merek lama yang adaptif seperti Samsung, I-Phone, dan munculnya merek baru seperti Oppo, Vivo, Xiaomi.
Oleh karena itu belajar dari kasus PPP ini, jika sebuah organisasi ingin terus berkembang dan memiliki eksistensinya agar tidak mundur dan hancur, maka organisasi itu harus menjaga soliditas internalnya, mampu mengelola konflik, terus melakukan kaderisasi dan regenerasi, menjaga konsistensi nilai-nilai dan ideologi dasar organisasi nya serta terus adaptif dengan perubahan, maka insya Allah organisasi tersebut akan dapat bertahan dan semakin berkembang.
Jangan terjebak dengan pertumbuhan sesaat jika tidak dibarengi dengan kekuatan pondasi organisasi dalam menghadapi badai atau turbulensi, yaitu pada kekuatan sumber daya manusianya, serta visi dan ideologinya yang menjadi bahan bakar perjuangannya. Wallahu alam bishshawab.
Discussion about this post