Seperti kebanyakan kota dan kabupaten di Sumatera Barat, kekayaan sumber daya alam (SDA) kota Bukittinggi tidak banyak memberikan kontribusi langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Meski di sisi lain juga ada sektor yang sangat potensial, namun untuk mampu mendukung PAD Kota harus bisa dilakukan melalui kombinasi dengan potensi lainnya seperti seni budaya maupun hasil karya, inovasi dan kreasi yang tumbuh di tengah masyarakat.
Memiliki keindahan alam dan udaranya yang sejuk disertai dengan potensi yang tumbuh di tengah masyarakat seperti seni-budaya, berbagai produk kuliner dan kerajinan rumah tangga, menjadi sebuah kondisi yang tinggal diberi nama atau label.
Kota Wisata, itulah yang dijadikan label Bukittinggi, sehingga dapat dijual sampai ke seantero dunia, sehingga secara mutualis-simbiosis saling mendukung peningkatan pendapatan bagi daerah dan masyarakat.
Sempat memunculkan pro-kontra di tengah masyarakat, terutama bagi yang menkhawatirkan akan mengikis tatanan nilai kehidupan, baik agama maupun adat dan budaya. Namun berkat konsep dan jalan keluar yang ditawarkan oleh B.Burhanuddin, akhirnya diperoleh persetujuan melekatkan nama Kota Wisata bagi Bukittinggi.
Menurut Walikota waktu itu, dengan adanya status ini, Pemerintah Bukittinggi justru dituntut untuk menjadikan tatanan nilai yang ada sebagai kekuatan bagi sendiri dan sebaliknya diharapkan menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Dengan demikian, sumber PAD Bukittinggi lebih banyak bertumpu pada sektor ekonomi-perdagangan dan jasa, melalui penataan dan pengelolaan yang baik, akan dapat tumbuh sehingga ikut memberikan peluang kepada masyarakat untuk menikmatinya.
Potensi dari sektor-sektor itu tentu tidak bisa dikembangkan secara optimal tanpa memperhatikan dan memperhitungkan potensi serta perkembangan kawasan sekitar.
Sesuai dengan posisi geografis kota Bukittinggi dan Sumbar, peluang memanfaatkan potensi kawasan sekitar, lebih akan membuka peluang bila melirik situasi lokal dan regional ke arah Timur, yakni provinsi Riau yang saat itu belum dimekarkan dengan Kepulauan Riau (Kepri).
Hal itu berawal dari pengembangan Batam menjadi sebuah daerah/kawasan Otorisasi pada tahun 1973, yang dimaksudkan pemerintah RI untuk mengalirkan “air ekonomi” dari dua negara tetangga khususnya, Singapura dan Malaysia ke berbagai daerah di Indonesia, melalui Batam.
Menyadari kondisi dan posisi tersebut, mantan Walikota Bukittinggi Kolonel (Adm) Bursal Burhanuddin di masa kepemimpinannya melakukan kajian untuk ikut memanfaatkannya demi kemajuan kota Bukittinggi.
Maka langkah strategis yang dilakukan oleh perwira menengah angkatan udara,lebih dikenal namanya jadi B.Burhanuddin, dengan mencanangkan Bukittinggi sebagai Kota Wisata pada tanggal 11 Maret 1984. Kini sudah berjalan 40 tahun.
Pencanangan oleh Dirjen Pariwisata, Dapparpostel (waktu itu), Joop Ave berlangsung di taman Jamgadang, dengan penandatanganan sebuah Prasasti, yang entah masih ada atau tidak.
Sebagai Kota Wisata, Bukittinggi, oleh B.Burhanuddin dipandang layak dijual tidak hanya secara nasional namun tentu saja juga ke dunia internasional.
Burhanuddin dan pemerintah kota Bukittinggi, waktu itu memproyeksikan memanfaatkan status Otorita Batam yang langsung menjadi pintu masuk investasi, perdagangan atau jasa ke Indonesia, khususnya dari Singapura dan Malaysia, airnya juga bisa mengalir ke Bukittinggi.
Singapura misalnya, dengan luas hanya 734,3 km2, yang bisa dikatakan tidak punya SDA sama sekali ternyata bisa tumbuh menjadi negara cukup maju, dengan mengandalkan sektor perdagangan dan jasa.
Di tengah terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di banyak negara dunia, negara singa ini bahkan mampu menghasilkan income perkapita rakyatnya sebesar 87.880 dolar Singapura pada tahun 2023 kemaren.
Disiplin, ini sudah diketahui sebagai faktor utama pendukung kemajuan negara yang dulu menjadi bagian Semenanjung Malaya. Kemudian untuk mendukung bagaimana para turis mancanegara tertarik untuk datang, negara kecil ini terus-menerus melahirkan kreasi dan inovasi.
Bagi pendatang yang baru masuk ke Singapura, masih di kawasan Bandara Internasional Changi, sudah dapat menikmati berbagai objek, mulai dari kuliner sampai hiburan. Salah satu yang cukup menarik perhatian pengunjung mancanegara di sana adalah Jewel Cangi, air terjun yang dibuat penuh dengan daya tarik.
Ketika penulis berkunjung ke negara jiran tersebut, kesan kuat yang terasa adalah keramahan warga Singapura dengan mayoritas etnis Cina ini.
Di tengah keraguan dan sedikit bingung mencari arah mana yang harus dilewati, seorang “taci” dengan sangat ramah memberi petunjuk bahkan ikut menekan tombol lift yang tidak jauh dari tempat bertemu, untuk menuju tempat yang diinginkan.
Peristiwa kedua, saat naik “skytren” yang disediakan pemerintah Singapura untuk dinaiki secara gratis mengelilingi kawasan Changi, karena penuh, secara spontan penulis dipersilakan menempati kursi yang dia duduki.
Padahal dilain pihak, orang pun sudah tahu, biaya hidup di Singapura terbilang cukup tinggi. Sebagai perbandingan, untuk sarana akomodasi paling murah atau setara hotel Melati di Bukittinggi, tarifnya sebesar 150 dolar Singapura atau sekitar Rp.1,5 juta/malam. Paling mahal tentu sesuai isi kantong masing-masing.
Meski terkenal dengan biaya mahal, kenyataannya para pengunjung dari berbagai negara tetap antusias untuk berkunjung ke Singapura, demikian juga Malaysia.
Lalu, bagaimana terobosan yang sudah dibuat oleh B.Burhanuddin dengan mencanangkan Bukittinggi sebagai Kota Wisata, sudah sesuai dengan ekspektasinya? Sayang Walikota Bukittinggi yang setahun kemudian juga melakukan terobosan lain melalui kerjasama Kota Bersaudara (Sister’s City) antara Bukittinggi dengan Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, tidak lagi mendapat restu dari pemerintah pusat untuk melanjutkan kepemimpinan periode keduanya.
Air ekonomi dari negara tetangga yang diharapkan juga mampu mengalir ke Bukittinggi, berkemungkinan hanya sampai di Selat Melaka saja.
Momen dan program yang sudah ada sejak empat dasa warsa tersebut, perlu rasanya ditelusuri ulang. Misalnya tentang Master Plan Pariwisata kota Bukittinggi. Apakah masih patut dikaji, dievaluasi untuk ditindaklanjuti secara lebih konkret. (bersambung)
Discussion about this post