Bukittinggi — Meski waktu yang ditetapkan 60 hari kerja sejak tanggal 16 Mei 2023 telah habis, namun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Sumatera Barat atas terjadinya potensi kerugian keuangan daerah hingga Rp 1,8 Miliar lebih pada pelaksanaan pekerjaan pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bukittinggi tahun anggaran 2022 silam tidak begitu direspon oleh Dinas terkait.
Hal ini dikatakan oleh koordinator LSM Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK) Bukittinggi Young Happy, bahwa menurutnya Dinas Perdagangan dan Perindustrian seolah terkesan sepelekan temuan tersebut sebab hingga saat inipun upaya perubahan perjanjian sewa terkait klausul larangan mendirikan bangunan permanen pada tanah yang menjadi objek perjanjian antara Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bukittinggi dengan PT KAI belum ada.
“Dalam temuan BPK RI perwakilan provinsi Sumatera Barat, itu kan jelas dikatakan, bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan resiko permasalahan hukum atas bangunan permanen yang didirikan pada tanah PT KAI, namun kenapa hingga habis waktu yang diberikan oleh BPK, Addendum yang dimaksud belum juga ada…?” katanya.
Ia juga menyebutkan saat ini pihaknya telah melakukan pelaporan atas resiko kerugian tersebut. “Disini kita tidak main-main, potensi kerugian atas pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I tersebut sudah kita laporkan, dan bahkan potensi lanjutan atas proyek pembangunan Street Food tahap II senilai lebih Rp 12 Miliar yang sedang berjalan sekarang pun telah kita koordinasikan dengan pihak penyidik, sebab kita menilai di proyek tahap I yang hanya senilai Rp 2, 3 Miliar saja potensi kerugian keuangan daerah sudah lebih dari Rp 1,8 Miliar, apalagi pada proyek tahap II yang nilainya lebih dari Rp 12 Miliar..,” ungkapnya.
Young Happy juga mengatakan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam perbelanjaan pembangunan Street Food Bukittinggi tersebut musti bertanggung jawab, sebab menurutnya selain adanya dugaan potensi kerugian daerah, implementasi perbelanjaannya pun diduga melenceng dari rencana perbelanjaan awal. “Street Food itu awalnya kan disiapkan untuk penampungan para pedagang pasar bawah dan pasar Aur Tajungkang karena tempat mereka berdagang direncanakan akan direlokasi. Namun kok sekarang dibangun representatif, dan ada niatan juga dari Dinas terkait untuk memperpanjang sewa hingga 10 tahun.. Nah hal ini tentunya lucu, sebab yang namanya penampungan kok bisa sampai 10 tahun..?” sebutnya.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bukittinggi, Wahyu Bestari kepada Wartawan mengaku bahwa memang permohonan Addendum yang dimaksud belum terealisasi, namun hingga saat ini pun prosesnya masih berjalan baik secara kajian teknis maupun secara administrasi, sebab salah satu poin permohonannya, pihak Dinas Perdagangan dan Perindustrian meminta perpanjangan waktu kontrak sewa.
“Yang kita ajukan ke PT KAI itu kan pertama perihal penambahan waktu sewa, kedua perihal permohonan merubah klausula larangan membangun bangunan permanen, dan ketiga perihal larangan komersialisasi. Nah…. jadi bukannya kita tidak mengindahkan hasil LHP BPK, bahkan Saya sudah surati baik PT KAI sendiri maupun Walikota dan Inspektorat sekaligus melaporkan perkembangan tindak lanjut permohonan Addendum ke PT KAI tersebut, namun berkemungkinan keterlambatan ini dikarenakan prosesnya tidak mudah karena membutuhkan persetujuan Dewan Komisaris PT KAI,” katanya.
Menyangkut komersialisasi, menurut Wahyu tujuan mengajukan itu kepada PT KAI, agar memperjelas langkah peruntukan pembangunan Street Food tersebut untuk pemindahan para pedagang sepanjang jalan M Syafe’i stasiun Bukittinggi, sebab rencana awal untuk penampungan para pedagang pasar bawah dan Aur Tajungkang berkemungkinan besar batal dikarenakan rencana pembangunan revitalisasi pasar bawah dan pasar Aur Tajungkang sampai saat ini belum ada kepastian anggaran pembangunannya dari kementerian terkait.
“Berkemungkinan besar pemindahan para pedagang pasar bawah dan pasar Aur Tajungkang itu batal kita lakukan, karena rencana pembangunan revitalisasi pasar belum ada kepastian anggarannya dari kementerian pusat. Namun, rencana lain tetap kita laksanakan, sebab waktu pengajuan anggaran perbelanjaan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian dahulu, kita kan mengajukan tiga rencana mata anggaran, pertama anggaran sewa lahan, kedua perihal pembangunan penampungan pedagang pasar bawah dan pasar Aur Tajungkang, dan rencana pemindahan para pedagang sepanjang jalan M Syafe’i stasiun,” katanya.
Kembali ke persoalan pengajuan addendum kontrak sewa, menurutnya saat ini pihaknya tengah menunggu jadwal pertemuan dengan PT KAI. “Informasi terakhir, kita masih menunggu penjadwalan, guna pembahasan hasil kajian dari tim independen yang diturunkan oleh Dewan Komisaris PT KAI terkait usulan Addendum yang kita ajukan,” pungkasnya.
Sekretaris Inspektorat Daerah Bukittinggi, Sosiawan Putra saat dimintakan keterangannya seputar belum adanya upaya perubahan addendum kontrak sewa antara Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bukittinggi dengan PT KAI, kepada wartawan mengatakan dirinya tidak berkewenangan memberikan keterangan. “Saat ini Kepala Inspektorat tidak bisa ditemui karena sedang ada rapat, sementara saya tidak bisa memberikan keterangan karena, disini kewenangan untuk memberikan keterangan itu adanya pada Kepala Inspektorat,” katanya.
Ketika Wartawan bertanya di manakah ruangan bidang Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), agar Wartawan diberikan ruang untuk informasi, Sosiawan mengatakan bahwa seluruh pegawai Inspektorat Daerah adalah APIP, tapi tetap saja selain dari Kepala Inspektorat tidak bisa memberikan keterangan kepada Wartawan. “Sudah ya Pak, saya tidak bisa berlama-lama melayani Bapak, soalnya saya masih banyak kerjaan,” ungkapnya seolah tidak menyukai kedatangan Wartawan. (Jhon)
Discussion about this post