Bukittinggi — Dua minggu terakhir, kalangan tokoh-tokoh masyarakat pemerhati Kota Jam Gadang ramai membicarakan perihal adanya dugaan temuan dalam catatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan provinsi Sumatera Barat pasca dibangunnya proyek Street Food Bukittinggi tahap I di atas tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang berada di Stasiun Bukittinggi. Tak tanggung tanggung, proyek senilai Rp2,3 Miliar lebih ini digadang gadang berpotensi merugikan keuangan negara/daerah sebesar Rp 1, 8 Miliar lebih, atau hampir 80% dari nilai pembangunannya. Perihal dugaan potensi kerugian ini, ditenggarai akibat adanya perjanjian sewa antara Dinas Perdagangan dan Perindustrian yang dulu disebut sebagai Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan dengan PT KAI, dimana salah satu klausula perjanjian menyebutkan bahwa terhadap lokasi tersebut penyewa dilarang membangun bangunan permanen.
Menanggapi hal ini, Asril salah satu anggota Badan Anggaran DPRD Kota Bukittinggi kepada Wartawan mengatakan sangat menyayangkan kejadian tersebut. “Inilah yang sering kita katakan dalam setiap rapat pembahasan anggaran perbelanjaan Kota Bukittinggi, agar setiap menyusun rencana pembangunan, pihak dinas-dinas terkait musti memperhatikan aturan perundangan yang berlaku, sehingga tidak ada lagi sedikitpun kesalahan perbelanjaan yang tidak sesuai dengan klausula apapun,” katanya.
Asril juga menyebutkan bahwa, mengenai temuan dugaan potensi kerugian keuangan negara/daerah dalam perbelanjaan pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I, DPRD telah meminta jawaban dari pihak Dinas Perdagangan dan Perindustrian. “Sebenarnya awal Juli 2023 lalu kita sudah memanggil Dinas terkait dan Sekda selaku Ketua TAPD, namun dikarenakan pertanyaan dari beberapa kawan-kawan DPRD lebih banyak mengarah pada rencana awal penyusunan pembangunannya, Sekda langsung membatasi jawaban dengan meminta agar pemaparan nantinya dilakukan dalam jadwal khusus, dimana jadwal yang dimaksud belum terealisasi hingga saat ini,” terangnya.
Kemudian, hal yang menjadi kekhususan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI perwakilan provinsi Sumatera Barat tersebut, menurut Asril berkenaan dengan kontrak pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I dengan nomor kontrak 03/SPK/PPK.PSR/DKUKMDP/XI/2022 senilai Rp 2,3 miliar lebih, karena adanya item pekerjaan konstruksi beton pada lantai, serta pendukung bangunan tiang rangka baja yang dianggap BPK RI sebagai bangunan permanen. “Kegiatan pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I tersebut diduga telah melanggar aturan perundangan, sebab adanya bunyi pasal 5 huruf (a) perjanjian sewa antara Dinas Perdagangan dan Perindustrian dengan PT KAI nomor KL.701/III/25/KA-2022 yang sangat jelas menyatakan bahwa pihak penyewa dilarang mendirikan bangunan secara permanen pada objek yang disewakan, ini tentunya dapat mengakibatkan potensi kehilangan aset bagi Pemko Bukittinggi yang telah dibangun secara permanen di lokasi tersebut, apalagi nilai aset yang dimaksud lebih dari Rp1,8 Miliar,” ungkapnya.
Asril juga berharap agar pihak Pemko Bukittinggi segera menyelesaikan temuan BPK RI tersebut, mengingat waktu yang diberikan dalam rekomendasi hanya 60 hari. “Kita harapkan Pemko secepatnya menyelesaikan persoalan ini mengingat waktu yang telah berjalan lebih dari dua minggu pasca keluarnya Laporan Hasil Pemeriksaan dari BPK RI perwakilan provinsi Sumatera Barat tersebut, agar tidak menjadi sebuah catatan kerugian keuangan daerah bagi Kota Bukittinggi dikemudian harinya,” pungkasnya.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bukittinggi, Wahyu Bestari kepada Wartawan juga mengatakan bahwa saat ini pihaknya telah bertindak cepat dalam menyelesaikan temuan BPK RI tersebut. ”Saat ini kita telah lakukan upaya pengusulan addendum kedua perjanjian untuk diperpanjang lagi menjadi 10 tahun, dan bahkan pengusulan addendum ini sebenarnya telah kita ajukan sebelum temuan BPK RI diterima yang dimulai sejak akhir Februari 2023 lalu,” katanya.
Menurut Wahyu usulan yang diajukan termasuk dengan keterkaitan terhadap item penggunaan pembangunan konstruksi permanen, yang nantinya jika fungsi bangunan telah habis, item yg dimaksud diserahkan kepada PT KAI.
“Sampai saat inipun kita tetap intens kok melakukan komunikasi dengan pihak PT KAI dan juga pihak Kementerian BUMN, sebab secara aturan jika penyewaan asset BUMN dilakukan diatas 5 tahun, musti ada persetujuan dari pihak Komisaris BUMN, dan saat inipun Tim Aprisal Independen telah turun melakukan survey ke lokasi, namun bagaimana hasilnya, inilah yang masih kita tunggu hingga sekarang,” jelasnya. Mengenai jadwal waktu yang diberikan oleh BPK RI selama 60 hari, menurut Wahyu pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pihak BPK RI perwakilan provinsi Sumatera Barat untuk membantu meminta PT KAI melakukan percepatan proses pengajuan addendum.
“Dikarenakan ini sifatnya mendesak, serta meminimalisir tidak terjadi dampak kerugian terhadap keuangan negara/daerah dalam perbelanjaan pembangunan tersebut, inilah yang kita jadikan alasan kuat guna meminta pihak BPK RI ikut mendesak pihak PT KAI untuk merealisasikan permohonan perpanjangan addendum perjanjian kerjasama kita,” terangnya.
Lanjut Wahyu mengatakan, bahwa perihal perencanaan tahap pembangunan awal, adanya temuan BPK RI mengenai konstruksi permanen, sebenarnya dalam hitungan awal perencanaan dinas Perdagangan dan Perindustrian yang dulunya Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan, konstruksi beton yang digunakan merupakan pekerjaan minor. “Sebenarnya di dalam perencanaan kontrak kerja yang kita keluarkan, pelaksanaan pekerjaan konstruksi beton, kita tempatkan dalam pekerjaan minor, karena pekerjaan mayor didominasi pemasangan rangka baja dan kontainer sebagai outbound para pedagang di lokasi street food. cuma belakangan, itu dihitung oleh pihak BPK RI sebagai tetap hitungan konstruksi utama, maka rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK RI agar pihak Dinas Perdagangan dan Perindustrian me addendum perjanjian kerjasama tersebut, dengan memperpanjang waktu kerjasama minimal sesuai umur konstruksi, serta termasuk hal yang menyangkut komersialisasi,” katanya.
Kemudian, mengenai jadwal pertemuan khusus yang diminta oleh Sekda perihal menjelaskan lebih terperinci soal perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan Street Food Bukittinggi tahap I, saat ini dirinya mengaku masih mencari kecocokan jadwal antara pihak Pemko dengan DPRD. “Sampai saat ini kita masih mencari kecocokan jadwal dikarenakan dari pihak DPRD masih banyak agenda reses perseorangan di daerah dapil masing-masing. Intinya kita masih menunggu itu,” ungkapnya mengakhiri. (Jhon)
Discussion about this post