Dahrmasraya ke Jakarta – Rabu sore itu, (08/10/2025), di tengah kunjungan kerja di Jakarta, Annisa Suci Ramadhani merasakan sesuatu yang tak biasa. Bukan rasa letih setelah berpindah dari satu kementerian ke kementerian lain, melainkan rasa lega yang dalam, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Di ruangan dan dari Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, Bupati Dharmasraya itu dan Wakil Gubernur Vasko Ruseimy baru saja menerima kepastian bahwa Kabupaten Dharmasraya disetujui menjadi lokasi pembangunan Sekolah Rakyat senilai lebih dari Rp200 miliar.
Bagi sebagian orang, kabar itu mungkin hanya angka dan proyek. Namun bagi Annisa, yang baru beberapa bulan menjabat, itu adalah penanda bahwa kerja kerasnya mulai berbuah. Ia teringat kembali malam-malam panjang tanpa tidur, mempelajari data, menyiapkan proposal, dan berjuang meyakinkan kementerian di tengah kondisi fiskal daerah yang sulit. Hari itu, lelahnya terasa terbayarkan.
Ketika Annisa bersama wakilnya, Leli Arni, pertama kali menjabat, defisit anggaran hampir mencapai Rp97 miliar. Aset daerah banyak yang tak produktif, sementara pendapatan asli daerah nyaris stagnan, dan belanja pegawai di atas batas normal. Lebih berat lagi, di saat daerah butuh dorongan pembangunan, kebijakan efisiensi pemerintah pusat membuat alokasi dana infrastruktur hampir nol rupiah.
Situasinya kian menantang karena perubahan arah kebijakan nasional dari era Jokowi ke Presiden Prabowo. Jika era Jokowi dikenal dengan proyek infrastruktur masif—jalan, jembatan, dan bendungan—maka kini orientasi bergeser ke ketahanan pangan, pertanian, kesehatan dan pendidikan. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) perlahan dikurangi untuk melegakan beban APBN. Akibatnya, ruang gerak fiskal daerah makin sempit.
𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧 𝐝𝐢 𝐦𝐚𝐭𝐚 𝐫𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭, 𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚 𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐢𝐭𝐮?
Realitas politik lokal tak memberi ruang bagi alasan fiskal. Bagi masyarakat, jalan rusak, jembatan ambruk, atau sekolah reyot tetap dianggap menjadi tanggung jawab bupati sepenuhnya. Mereka tidak melihat batas kewenangan antara pusat, provinsi, atau kabupaten. Dan di tengah persepsi itulah, Annisa berdiri—bupati perempuan pertama di Sumatera Barat, yang dihadapkan pada situasi “hampir mati gaya” bila tak kreatif.
Tapi Annisa tidak memilih mengeluh. Ia tahu bahwa menyalahkan keadaan hanya akan membuat Dharmasraya tertinggal. Ia memilih membuka kembali jalur komunikasi dan jejaring, bukan hanya ke pusat, tapi juga ke provinsi dan lintas partai.
Ia menunjukkan rasa hormat dan ta’zim kepada Gubernur Sumbar Buya Mahyeldi dengan meminta arahan. Dirinya juga mulai meningkatkan frekuensi koordinasi dengan Wakil Gubernur Vasko Ruseimy. Meski ia kader Gerindra dan sangat intens berkomunikasi dengan Andre Rosiade, dirinya tak meninggalkan anggota DPR RI lainnya, Alex Indra Lukman (PDIP) maupun Zigo Rolanda (Golkar).
Sepertinya pembangunan bagi Annisa bukan soal partai atau kontestasi. “Soal hasil, biarlah nanti rakyat yang menilai di saatnya,” begitu prinsip yang ia pegang teguh. Melalui jalur-jalur itulah dirinya menghimpun kekuatan, meminta bimbingan, memohon pendampingan untuk mengetuk pintu-pintu kementerian.
Sejak itu, langkahnya menjadi lebih agresif. Ia bersafari ke berbagai kementerian: Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pertanian, Sosial, Ketenagakerjaan, Bappenas dan kementerian lainnya. Tak jarang, setelah memimpin rapat di Dharmasraya hingga malam, ia terbang pagi ke Jakarta demi satu pertemuan yang membawa harapan bagi warganya.
Dan hasilnya mulai terlihat. Dalam catatan kami, selain proyek Sekolah Rakyat senilai lebih dari Rp200 miliar yang dikonfirmasi hari itu oleh Kementerian Sosial, Dharmasraya juga sebelumnya mendapat Rp52 miliar untuk pengendalian banjir, Rp28 miliar untuk rehabilitasi sekolah, Rp25 miliar untuk pembangunan daerah irigasi, serta Rp6 miliar untuk program perumahan rakyat dan penataan kawasan permukiman. Kemudian ada juga tambahan Rp8 miliar (estimasi) per tahun untuk memperluas jaminan kesehatan 23.639 jiwa dari Kemensos.
Belum lagi proyek-proyek yang masih dalam tahap persetujuan, semisal transmigrasi lokal, pembangunan gudang Bulog, Inpres Jalan Daerah, serta izin ribuan hektare hutan sosial yang akan memperkuat kemandirian petani. Dari pihak ketiga, Telkomsel telah membangun empat Base Transceiver Station (BTS) baru di wilayah yang selama ini sulit sinyal. Semua itu dia usahakan hanya dalam waktu tujuh bulan era kepemimpinannya.
Memang belum semua proposalnya disetujui. Tapi Annisa memaklumi, ibarat memasang jerat di rimba luas, tidak semua akan kena. Yang penting, jerat itu dipasang dengan strategi dan niat yang tulus untuk rakyat.
Kini, di tengah tantangan fiskal dan ketidakpastian DAU, Dharmasraya mulai menunjukkan setitik harapan. Bukan karena tiba-tiba kaya, tapi karena punya pemimpin yang tidak menyerah pada keterbatasan.
Annisa tahu, membangun daerah di era efisiensi seperti sekarang ini bukan soal banyaknya beton yang dicetak, tapi bagaimana menjaga semangat dan kepercayaan publik tetap menyala. Ia percaya, harapan bisa tumbuh bahkan dari tanah yang paling kering sekalipun, asal disiram dengan kerja keras, kesabaran, dan jaringan yang hidup.
Dari balik jendela gedung Kementerian, langit Jakarta tampak mulai memerah. Senja itu menjadi saksi kecil dari perjuangan panjang yang perlahan menemukan jalannya. Annisa menatap ke luar dengan helaan nafas dalam dan senyum kecil. Ia tahu, perjalanan masih panjang. Tapi setidaknya, satu langkah besar untuk rakyat Dharmasraya baru saja dimenangkan.
*Penulis : Amrijal, S.ST (Kepala Bidang IKP Dinas Kominfo Kabupaten Dharmasraya)
Discussion about this post