Mobil dinas BA 1 V meluncur pelan ke arah selatan, membelah jalanan yang mulai ramai oleh pekerja sektor formal, terutama ASN yang telah usai bertugas.
Langit sore tampak menyengat seperti hari-hari sebelumnya, memberi kesan terik yang tak berkesudahan di awal Juni ini. Rombongan kecil ini mengarah ke jalan Provinsi di Kecamatan Sitiung, Senin (02/06/2025)
Di balik kaca jendela, Annisa Suci Ramadhani, Bupati Dharmasraya, duduk tenang. Tatapannya menyapu persawahan yang mulai menguning, ladang jagung yang mulai “maupiah”, dan pepohonan kelapa sawit yang mendominasi lanskap utama Dharmasraya.
Kali ini ia tidak membawa iring-iringan panjang. Hanya tiga mobil saja. Ia pun tak membawa banyak pejabat, hanya Kepala Bapperida yang diminta turut serta—agar semua keluhan masyarakat bisa dicatat dan dikaji secara langsung.
“Hari ini saya ingin mendengar, bukan sekadar datang menunjukkan diri,” ujar Annisa kepada para pengiringnya.
Kunjungan ini tanpa podium, tanpa pengeras suara, tanpa tenda, bahkan tanpa sehelai teks pidato. Hanya telinga yang terbuka dan niat yang tulus untuk menyerap langsung denyut kehidupan warganya.
Tujuan pertama adalah Kantor Wali Nagari Sungai Duo, kawasan eks-transmigrasi yang kini menjelma sebagai salah satu sentra pertanian terpenting di Dharmasraya.
Masyarakat di sini menggantungkan hidup dari tanah—bertani, beternak, dan mengolah hasil bumi. Nilai-nilai agraris yang mereka bawa dari tanah leluhur di Pulau Jawa masih hidup dan lestari.
Setelah berbincang singkat dengan perangkat nagari, Annisa melanjutkan perjalanan. Sesampainya di tepi sawah, matahari telah condong ke barat. Petani-petani mulai pulang, ada yang berjalan kaki, ada yang menunggang motor tua, membawa rumput ternak yang diikat rapi di jok belakang.
Di sudut pematang, Bupati duduk beralaskan beton polongan irigasi, bercakap dengan Sutarno, pengurus Badan Usaha Milik Nagari (Bumnag) Sungai Duo. Mereka membahas upaya Bumnag membeli gabah langsung dari petani untuk menghindari tengkulak. Harga pembelian pun kerap lebih tinggi.
“Kalau tengkulak ambil Rp6.400, kami harus berani beli Rp6.600 atau lebih,” ujar Sutarno.
Namun, ia mengakui bahwa tantangan besar masih membayangi. Ketergantungan petani terhadap tengkulak belum sepenuhnya teratasi karena terbatasnya akses permodalan. Sistem bayar setelah panen (yarnen) dengan mengambil keuntungan lebih masih menjadi budaya.
“Kami butuh rice milling sendiri, Buk. Selama ini masih menumpang ke penggilingan touke, itu menambah biaya produksi minimal 10 persen.”
Sutarno menjelaskan bahwa jika Bumnag punya mesin penggilingan sendiri, mereka bisa menyerap setidaknya 40 persen gabah dari total panen 480 hektare sawah di kawasan tersebut. Ini akan menjadi fondasi awal untuk membangun daya tawar petani.
Annisa mendengarkan dengan saksama. Ia menyebut rencana ini sejalan dengan gagasan One Village One Product (OVOP) yang tengah ia dorong. Ia menjanjikan pengkajian mendalam untuk intervensi pemda.
“Kalau ini bisa kita wujudkan, bukan tidak mungkin Sungai Duo akan dikenal dengan beras premiumnya,” ujarnya sembari tersenyum dan melanjutkan perjalanan ke titik selanjutnya.
𝐀𝐲𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐭𝐞𝐥𝐮𝐫, 𝐒𝐰𝐚𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐝𝐚,𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐬𝐭𝐫𝐢 𝐋𝐨𝐤𝐚𝐥
Kendaraan dinas BA 1 V kembali meluncur ke utara, menuju Jembatan Pulai dan menyeberang ke Padang Laweh. Setelah singgah sejenak membeli perbekalan di warung warga, rombongan menyeberang lagi ke Koto Beringin menuju Nagari Sipangkur.
Hari mulai beranjak sore saat Annisa tiba. Ia disambut Arif Gumensa, Wali Nagari setempat, di sebuah sentra ayam petelur. Ribuan ayam yang dikelola Arif secara mandiri telah mengubah wajah ekonomi nagari tersebut. Sipangkur yang sebelumnya identik dengan sawit dan sapi, kini mulai dikenal sebagai sentra peternakan ayam petelur.
Annisa bahkan masuk langsung ke kandang ayam, menyusuri lorong sempit di antara ratusan ayam yang meringkuk dalam sekat kawat. Bau menyengat dari campuran amonia, pakan, dan kotoran ayam langsung menyergap, tapi ia tetap melangkah tanpa masker.
“Mohon maaf bu, baunya agak menyengat,” ujar Arif sungkan.
“Namanya kandang ayam. Kalau wangi, itu baru aneh,” jawab Annisa sambil terkekeh.
Di sebuah saung tak jauh dari kandang, perbincangan berlanjut. Arif menjelaskan bahwa dua kandang ayam petelur di nagarinya mampu memproduksi sekitar 4.500 butir telur per hari. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan telur warga Sipangkur dan sebagian Kecamatan Tiumang.
“Kita sudah mulai swasembada telur. Harganya pun lebih murah dari distributor luar daerah,” jelas Arif.
Kendala utama, menurut Arif, adalah harga pakan yang masih mahal dan ketiadaan penyuluh peternakan unggas. Selama ini, ia menjalankan usaha secara otodidak.
Mendengar itu, Annisa meminta Arif membuat analisa bisnis lengkap, termasuk proyeksi modal dan keuntungan. Ia menyatakan dukungannya terhadap semangat Arif.
“Semangat seperti Pak Wali ini harus kita sebarkan. Agar perekonomian Dharmasraya tak hanya bertumpu pada kelapa sawit,” katanya.
Annisa juga menyampaikan bahwa Pemda tengah menyiapkan pendirian BUMD pengolahan pakan ternak dan ikan. Rencana ini sudah masuk dalam analisa kelayakan oleh dinas teknis dan Bapperida.
“Setidaknya, kita bisa menjaga agar uang masyarakat tetap berputar di daerah. Ini juga akan memperkuat program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Presiden Prabowo,” terang Annisa.
Senja pun tiba. Lampu-lampu rumah warga mulai menyala, serangga malam beterbangan, mentari beranjak ke peraduan, dan azan Magrib terdengar dari kejauhan.
Setelah melayani warga dan perangkat nagari yang ingin berfoto, Annisa menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Magrib sebagai kewajibannya sebagai seorang muslimah.
Tak lupa Pak Wali Arif menyerahkan 15 tray telur sebagai oleh-oleh, yang semua dibagikan kepada staf yang ikut dalam rombongan.
Dengan iringan mobil patroli pengawalan Polres Dharmasraya, plat merah itu melaju pelan menembus malam menuju Pulau Punjung. Kunjungan Sore Mendengar berakhir, meninggalkan jejak harapan dan ikhtiar baru bagi Dharmasraya yang terus bergerak.
Discussion about this post